Khitan
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ
بَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبّ اْلعَالَمِيْنَ الَّذِى اَرْسَلَ رَسُوْلَهُ
بِاْلهُدَى وَ الدّيْنِ اْلحَقّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدّيْنِ كُلّهِ وَ لَوْ كَرِهَ
اْلمُشْرِكُوْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اَمَّا
بَعْدُ:
Sesungguhnya
Ibrahim seorang imam yang jadi teladan, patuh kepada Allah dan hanif (yakni
selalu berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah
meninggalkannya).
Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang memper-sekutukan Allah
(musyrik).
Kaum
muslimin dan muslimat rahimakumullah, Khitan (sunnat) sudah menjadi kepercayaan
kaum muslimin untuk melaksanakannya terhadap anak-anak mereka. Malah di beberapa
daerah pelaksanaan khitan diadakan dengan upacara besar-besaran dan
menyelenggarakan keramaian dengan meriah.
Adapun
sebenarnya apakah khitan itu ?
Khitan
itu berasal dari bahasa ‘Arab, yang menurut ilmu bahasa berarti memotong
sesuatu.
Adapun
pengertian menurut istilah syar’iyah ialah memotong/ membuang kulup kemaluan
atau zakar anak laki-laki, sehingga kepala zakar itu terbuka sama
sekali.
Menurut
riwayat, soal khitan adalah termasuk upacara keagamaan yang disyariatkan
semenjak Nabi Ibrahim AS, dan beliau berkhitan sudah berumur 80 tahun
sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اِخْتَتَنَ
اِبْرهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمنِ بَعْدَ مَا اَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً وَ
اخْتَتَنَ بِاْلقُدُوْمِ. متفق عليه
Dari
Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan sesudah
mencapai usia 80 tahun dan berkhitan dengan “qudum” (alat pertukangan
kayu)”.
[HR. Bukhari dan Muslim]
Mulai
saat itulah khitan telah menjadi syari’at (peraturan) pada ummat Nabi Ibrahim
dan turun-turunannya. Nabi Muhammad SAW meneruskan peraturan itu untuk
dilaksanakan oleh ummatnya.
Telah
kita ketahui bahwa pokok-pokok ajaran yang telah disampaikan Allah kepada Nabi
Ibrahim AS pada umumnya diteruskan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dengan
sendirinya menjadi ajaran Islam.
Di
dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ
حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ. النحل:123
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.
Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah”.
[QS. An-Nahl : 123]
Dari
perintah Allah tersebut maka banyak kita ketahui ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk ummatnya (ummat Islam), seperti ibadah hajji, qurban dan
termasuk khitan, meneruskan apa yang telah disyariatkan kepada Nabi Ibrahim
AS.
Nabi
Muhammad SAW menjelaskan bahwa khitan adalah salah satu unsur
kebersihan/kesucian dalam Islam, bahkan diantara lima kebersihan, beliau
sebutkan pada urutan yang pertama sebagaimana sabda beliau
:
خَمْسٌ مِنَ اْلفِطْرَةِ: اْلخِتَانُ وَ اْلاِسْتِحْدَادُ وَ قَصُّ
الشَّارِبِ وَ تَقْلِيْمُ اْلاَظْفَارِ وَ نَتْفُ اْلاِبْطِ. البخارى و
مسلم
Lima
macam termasuk kebersihan/kesucian yaitu : 1. berkhitan, 2. mencukur rambut
kemaluan, 3. memotong kumis, 4. memotong kuku, 5. mencabut bulu
ketiak.
[HR. Bukhari dan Muslim]
Menurut
madzhab Syafi’iy, khitan itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat yang
sudah baligh. Adapun menurut madzhab Malikiy dan Hanafiy berpendapat bahwa
khitan tidak wajib, dan tidak menjadi syarat muthlaq yang harus dilakukan oleh
seseorang yang masuk Islam sebagaimana halnya dengan kalimat syahadat, tetapi
mereka sangat menganjurkan agar ummat Islam melakukan
khitan.
Rasulullah
SAW telah menjadikan khitan itu suatu ketentuan dalam Islam termasuk salah satu
dari lima kesucian yang harus diperhatikan oleh ummat Islam dan menjadi sunnah
Nabi, maksudnya peraturan yang dilaksanakan oleh Nabi. Oleh karena itu khitan
disebut juga sunnat, yaitu dari perkataan “Sunnah”.
Selanjutnya,
umur berapa anak-anak harus dikhitan ?
Menurut
ajaran Islam tidak ada ketentuan yang pasti dalam umur berapa tahun anak harus
dikhitan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ رض: مِثْلُ
مَنْ اَنْتَ حِيْنَ قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ ص؟ قَالَ: اَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُوْنٌ
وَ كَانُوْا لاَ يَخْتِنُوْنَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ. البخارى
Dari
Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu ‘Abbas RA telah ditanya, “Seperti siapakah
engkau ketika Rasulullah SAW wafat ?”. Ia menjawab, “Saya pada waktu itu telah
dikhitan, dan mereka tidak mengkhitan laki-laki kecuali setelah dewasa
(baligh)”.
[HR. Bukhari]
Menurut
golongan madzhab Syafi’iy dalam satu pendapat menyatakan bahwa wajib bagi wali
mengkhitan anak sebelum baligh. Pendapat yang lain bagi golongan Syafi’iyah
juga, bahwa diharamkan (khitan) sebelum usia sepuluh tahun. Hal ini tidak cocok
juga dengan apa yang dilakukan oleh Nabi, bahwa beliau mengkhitan Hasan dan
Husain pada hari ke-7 dari kelahiran. [HR Hakim dan Baihaqi dari ‘Aisyah, dalam
Nailul Authar juz 1, hal. 134].
Menurut
An-Nawawiy setelah menyebut dua pendapat tersebut maka beliau berkata, “Kalau
kita berpendapat dengan dasar yang shahih, maka dianjurkan khitan pada hari ke-7
dari hari kelahiran anak”.
Mencermati
itu semua, jelas bahwa khitan merupakan syari’at Islam yang mesti dijalankan
oleh setiap muslim, sedangkan umur berapa anak harus dikhitan, tidak ada
ketentuan yang pasti dalam ajaran agama Islam.
Hikmah
khitan.
Setiap
peraturan dalam Islam yang bersifat perintah, baik yang wajib maupun yang
merupakan sunnat (anjuran), pasti mengandung hikmat dan nilai-nilai yang
mendatangkan manfaat, demikian juga halnya tentang khitan. Khitan dapat ditinjau
dari dua segi yang mendatangkan manfaat.
Pertama,
dari segi kebersihan, dalam istilah agama disebut nadhofah, adalah suatu
perbuatan yang sangat dianjurkan, bahkan sampai ada yang diwajbkan, misalnya :
kewajiban berwudlu sebelum shalat, mandi junub setelah melakukan hubungan
seksual antara suami-istri, wajib mandi bagi wanita sehabis datang bulan maupun
nifas, itu semua ketentuan-ketentuan yang bermotif kebersihan. Secara umum Nabi
SAW bersabda :
اَلنَّظَافَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ
Kebersihan
itu adalah sebagian dari iman.
Maksudnya,
memelihara kebersihan adalah suatu perbuatan yang sangat ditekankan untuk
dilakukan, bahkan menjadi tanda orang beriman.
Kedua,
dipandang dari segi kesehatan, maka melakukan khitan adalah suatu usaha
pencegahan (preventif) terhadap penyakit. Para ahli kesehatan sepakat bahwa
dengan melakukan khitan, maka mencegah tertinggalnya hama-hama di ujung alat
kelamin laki-laki, yang pada waktu persetubuhan dapat masuk ke dalam rahim
wanita.
Dr.
Ahmad Ramli berkesimpulan bahwa khitan itu aturan yang sangat baik yang
bermanfaat sekali dalam pemberantasan penyakit kelamin yang sukar diatasi,
kecuali dengan khitan. [Memelihara kesehatan dalam hukum syara’ Islam, hal.
122]
Tehnik
pengkhitanan.
Kalau
jaman dahulu mengkhitan dengan cara yang masih primitif dan alat-alat yang
dipakai pun sangat sederhana dan tidak dijamin dari segi kebersihan dan
kesehatan. Misalnya dengan menggunakan sembilu, yakni bambu yang dibentuk
seperti pisau. Lukanya diobati dengan kapur atau air daun sirih dan untuk
mengeringkan darahnya, anak disuruh berdiam di atas asap api, dan sebagainya.
Sehingga khitan pada jaman dulu sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu baru
sembuh.
Khitan
pada jaman sekarang sudah menggunakan alat dan obat-obatan serba modern,
sehingga anak yang dikhitan tidak begitu merasakan sakit dan cepat sembuh.
Bahkan selesai dikhitan anak langsung memakai celana, dapat beraktifitas seperti
sekolah dan sebagainya.
Upacara
khitan.
Tentang
upacara khitan di berbagai daerah di Indonesia ini berbeda-beda dalam
penyelenggaraannya.
Sementara
di Jawa mengkhitankan anak dinamakan “mengislamkan” (ngislamake), yaitu dianggap
sebagai tatacara permulaan mengislam-kan anak. Anggapan yang demikian merupakan
detik-detik bersejarah dalam kehidupan seorang anak, maka disambut dengan
upacara yang sangat meriah dan besar-besaran. Anak dihias sedemikian rupa dengan
pakaian khusus sesuai dengan adat di daerahnya dan diiringi dengan berbagai
keramaian serta berpesta pora yang menghabiskan biaya cukup besar. Di Sumatra,
Kalimantan dan di daerah-daerah lain, menyelenggarakan upacara dalam rangka
khitan tersebut dengan cara tersendiri, sesuai dengan adat kebiasaan daerah
masing-masing.
Sebaiknya
bagaimana menurut pandangan Islam ?
Upacara
khitan sebaiknya yang sederhana saja, karena pada hakikatnya tentang khitan
adalah urusan dalam (intern) keluarga yang cukup dilaksanakan seperlunya saja,
sekedar membesarkan hati dan memberi hadiah pada anak yang dikhitan agar sedikit
mengurangi rasa sakit. Adapun pesta pora dan berbagai atraksi yang memakan dana
besar sebaiknya dihindarkan. Dana yang besar itu lebih baik apabila digunakan
untuk kepentingan yang lain yang lebih bermanfaat. Karena pada jaman Rasulullah
SAW belum pernah terjadi upacara besar-besaran dalam masalah khitan seperti yang
sering kita saksikan sekarang di berbagai tempat. Bahkan beliau mengkhitan
cucunya (Hasan dan Husain) ketika pada hari ke-7 dari kelahiran mereka
(bersamaan dengan hari aqiqah).
Dijelaskan
dalam suatu riwayat sebagai berikut :
عَنِ اْلحَسَنِ قَالَ: دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ اَبِى اْلعَاصِ اِلَى
خِتَانٍ فَاَبَى اَنْ يُجِيْبَ فَقِيْلَ لَهُ، فَقَالَ: اِنَّا كُنَّا لاَ نَأْتِى
اْلخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ لاَ نُدْعَى لَهُ. احمد
Dari
Al-Hasan, ia berkata : ‘Utsman bin Abul ‘Ash pernah diundang acara khitan, lalu
ia menolak menghadirinya, kemudian dia ditanya, lalu menjawab, “Sesungguhnya
kami di masa Rasulullah SAW tidak pernah mendatangi acara khitan dan tidak
pernah ada undangan untuk itu”.
[HR. Ahmad]
Memperhatikan
adanya riwayat tersebut menunjukkan bahwa pada jaman Rasulullah SAW tidak pernah
dilakukan oleh Nabi maupun para shahabat beliau, undangan-undangan dalam acara
khitan, dan tidak pernah pula menyelenggarakan pesta-pesta dan
keramaian-keramaian dalam rangka khitan.
Undangan-undangan
dan keramaian-keramaian yang dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi SAW adalah
undangan dalam acara walimah pernikahan. Hal ini pun Nabi SAW menganjurkan
hendaklah mengutamakan mengundang orang-orang yang perutnya lapar (orang
misikin), dan beliau menganjurkan pula mengadakan keramaian walaupun sekedar
memukul kendang/rebana. Nabi SAW bersabda :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ
اْلوَلِيْمَةِ تُدْعَى لَهَا اْلاَغْنِيَاءُ وَ تُتْرَكُ اْلفُقَرَاءُ. وَ مَنْ
لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. احمد و البخارى و
مسلم
Dari
Abu Hurairah RA, ia berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah,
dimana yang diundang menghadirinya orang-orang yang kaya, sedang orang-orang
faqir ditinggalkan, padahal orang yang tidak memenuhi (undangan walimah)
benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
[HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى اْلمَازِنِيّ عَنْ جَدّهِ اَبِى حَسَنٍ اَنَّ
النَّبِيَّ ص كَانَ يَكْرَهُ نِكَاحَ السّرّ حَتَّى يُضْرَبَ بِدُفّ وَ يُقَالُ:
اَتَيْنَاكُمْ اَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيّيْكُمْ. عبد الله بن احمد فى
المسند
Dari
‘Amr bin Yahya Al-Maziniy dari kakeknya Abu Hasan bahwasanya Nabi SAW tidak
menyukai nikah sirri (nikah secara diam-diam/tidak diumumkan) sehingga dipukul
rebana dan dinyanyikan (syair). Dan dikatakan, “Kami datang, kami datang,
hormatilah kami, kami pun akan menghormati kalian”.
[HR. ‘Abdullah bin Ahmad dalam musnadnya]
Semoga
makalah singkat tentang khitan ini ada manfaatnya untuk kita semua dalam rangka
mengikuti suri teladan yang baik dari Rasulullah SAW, dan semoga Allah SWT
melunakkan hati kita untuk menerima dengan mudah tuntunan Allah dan Rasul-Nya
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Amin,
ya Rabbal ‘aalamin.
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ
قِنَا عَذَابَ النَّارِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar