اَلطَّلاَقُ مَرَّتنِ، فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ
بِاِحْسَانٍ. البقرة:229
Thalaq
(yang dapat dirujuki) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk kembali dengan
ma’ruf atau menthalaqnya dengan cara yang
baik.
[QS. Al-Baqarah : 229]
ياَيُّهَا النَّبِيُّ، اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسآءَ فَطَلّقُوْهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ. الطلاق:1
Hai
Nabi, apabila kamu menthalaq istri-istrimu, maka hendaklah kamu thalaq pada
waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar).
[QS. Ath-Thalaaq : 1]
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص طَلَّقَ حَفْصَةَ،
ثُمَّ رَاجَعَهَا. ابو داود و النسائى و ابن ماجه
Dari
Umar bin Khaththab RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah menthalaq Hafshah,
kemudian merujukinya.
[HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibnu
Majah].
عَنْ لَقِيْطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ
لِى امْرَأَةً فَذَكَرَ مِنْ بَذَائِهَا، قَالَ: طَلّقْهَا. قُلْتُ: اِنَّ لَهَا
صَحْبَةً وَ وَلَدًا. قَالَ: مُرْهَا اَوْ قُلْ لَهَا فَاِنْ يَكُنْ فِيْهَا خَيْرٌ
سَتَفْعَلُ، وَ لاَ تَضْرِبْ ظَعِيْنَتَكَ ضَرْبَكَ اَمَتَكَ. احمد و ابو داود
Dari
Laqith bin Shabrah ia berkata : Aku pernah bertanya,
“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai seorang istri”. Lalu ia menyebutkan tentang ucapannya yang kotor. Nabi SAW
bersabda, “Thalaqlah dia !”. Aku berkata, “Sesungguhnya
ia mempunyai teman dan anak”. Nabi SAW bersabda, “Suruhlah dia atau katakan
padanya jika ada baiknya akan kamu lakukan. Dan hendaklah
engkau tidak memukul istrimu seperti engkau memukul ‘amatmu”.
[HR. Ahmad dan Abu Dawud].
عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَيُّمَا امْرَأَةٍ
سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا
رَائِحَةُ اْلجَنَّةِ. الخمسة الا النسائى
Dari
Tsauban, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,
“Siapasaja wanita yang minta thalaq kepada suaminya tanpa ada sebab, maka haram
baginya bau surga”.
[HR. Khamsah kecuali Nasai].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَبْغَضُ اْلحَلاَلِ اِلَى
اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ الطَّلاَقُ. ابو داود و ابن ماجه
Dari
Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah ’Azza wa Jalla adalah
thalaq”.
[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Larangan
menthalaq istri diwaktu sedang haidl
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ
فَذَكَرَ ذلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيّ ص، فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا اَوْ
لِيُطَلّقْهَا طَاهِرًا اَوْ حَامِلاً. الجماعة الا البخارى
Dari
Ibnu Umar RA, bahwa ia pernah menthalaq istrinya,
sedang istrinya itu dalam keadaan haidl. Kemudian hal itu disampaikan oleh Umar
kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW bersabda, “Suruhlah dia untuk merujukinya
kembali, atau hendaklah ia menthalaqnya dalam keadaan suci atau
hamil”.
[HR. Jama’ah kecuali Bukhari].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ فِى
عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَسَأَلَ عُمَرُ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ. فَقَالَ:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ
تَطْهُرَ. ثُمَّ اِنْ شَاءَ اَمْسَكَ بَعْدُ. وَ اِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ اَنْ
يَمَسَّ، فَتِلْكَ اْلعِدَّةُ الَّتِى اَمَرَ اللهُ اَنْ تُطَلَّقَ لَهَا
النّسَاءُ. البخارى و مسلم
Dari
Ibnu ‘Umar, bahwasanya ia pernah menthalaq istrinya, pada hal istrinya dalam
keadaan haidl pada masa Rasulullah SAW. ‘Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang hal itu. Maka beliau bersabda, “Suruhlah ia
merujukinya, lalu ia menahannya sehingga suci, kemudian ia haidl lagi, kemudian
ia suci lagi. Kemudian jika ia masih menginginkan,
boleh tidak menthalaqnya. Dan jika ia mau, ia boleh
menthalaqnya sebelum mencampurinya. Maka itulah ‘iddah yang
Allah perintahkan supaya wanita dithalaq padanya”.
[HR. Bukhari dan Muslim]
و لمسلم و النسائى نحوه و فى آخره قَالَ ابْنُ عُمَرَ: قَرَأَ النَّبِيُّ ص: ياَيُّهَا النَّبِيُّ، اِذَا
طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَطَلّقُوْهُنَّ فِيْ قُبُلِ عِدَّتِهِنَّ.
Dan
bagi Muslim dan Nasai seperti itu juga, dan pada akhir riwayat itu Ibnu ‘Umar
berkata : Dan Nabi SAW membaca (yang artinya) : Hai
Nabi, apabila kamu menthalaq istri-istrimu, maka hendaklah kamu menthalaq mereka
pada waktu mereka dapat menghadapi ‘iddah mereka”.
و فى رواية اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ تَطْلِيْقَةً.
فَانْطَلَقَ عُمَرُ فَاَخْبَرَ النَّبِيَّ ص. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: مُرْ
عَبْدَ اللهِ، فَلْيُرَاجِعْهَا. فَاِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى
تَحِيْضَ. فَاِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا اْلاُخْرَى فَلاَ يَمَسَّهَا
حَتَّى يُطَلّقَهَا. وَ اِنْ شَاءَ اَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا، فَاِنَّهَا
اْلعِدَّةُ الَّتِى اَمَرَ اللهُ اَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النّسَاءُ. الدارقطنى
Dan
dalam riwayat lain (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya
Ibnu ‘Umar menthalaq istrinya, pada hal istrinya dalam keadaan haidl dengan
thalaq satu. Lalu ‘Umar pergi memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, kemudian
Nabi SAW bersabda kepadanya, “Suruhlah Abdullah agar ia merujukinya kembali.
Lalu apabila ia telah mandi (suci) maka hendaklah ia tidak mendekatinya sehingga
ia haidl (lagi), kemudian apabila ia telah mandi (suci) dari haidlnya yang
kedua, maka hendaklah ia tidak mencampurinya sehingga ia menthalaqnya. (Atau)
jika ia ingin menahannya maka hendaklah ia menahannya,
karena itu ‘iddah yang diperintahkan Allah agar para wanita dithalaq untuk
‘iddah itu”.
[HR. Daruquthni].
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: اَلطَّلاَقُ عَلَى
اَرْبَعَةِ اَوْجُهٍ. وَجْهَانِ حَلاَلٌ وَ وَجْهَانِ حَرَامٌ. فَاَمَّا اللَّذَانِ
هُمَا حَلاَلٌ: فَاَنْ يُطَلّقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ
جِمَاعٍ اَوْ يُطَلّقَهَا حَامِلاً مُسْتَبِيْنًا حَمْلَهَا. وَ اَمَّا اللَّذَانِ
هُمَا حَرَامٌ: فَاَنْ يُطَلّقَهَا حَائِضًا اَوْ يُطَلّقَهَا عِنْدَ اْلجِمَاعِ
لاَ يَدْرِى اشْتَمَلَ الرَّحِمُ عَلَى وَلَدٍ اَمْ لاَ. الدارقطنى
Dari
‘Ikrimah, ia berkata : Ibnu Abbas berkata, “Thalaq itu
ada empat macam. Dua macam halal dan yang dua macam lagi
haram. Adapun dua macam yang halal ialah seseorang menthalaq istrinya
dalam keadaan suci yang belum dicampuri atau ia
menthalaqnya dalam keadaan hamil yang sudah jelas kehamilannya. Adapun dua macam
lagi yang haram ialah seseorang menthalaq istrinya dalam keadaan haidl atau
menthalaqnya dalam keadaan suci setelah dicampuri, sedang ia tidak tahu apakah
istrinya itu hamil atau tidak”.
[HR. Daruquthni].
Keterangan
:
Dari
hadits-hadits di atas bisa dipahami bahwa
:
1. Apabila suami menthalaq istrinya, hendaklah
dilakukannya diwaktu istri dalam keadaan suci dari haidl dan belum dikumpuli
lagi, atau istri dalam keadaan hamil. Dan suami dilarang menthalaq istrinya
diwaktu ia sedang haidl. Namun
apabila terjadi seorang suami menthalaq istrinya dalam keadaan haidl, thalaq
tersebut tetap sah, hanya saja tidak sesuai dengan tuntunan sebagaimana yang
Allah perintahkan dalam QS. Ath-Thalaaq :
1.
2. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW menyuruh Ibnu ‘Umar supaya menunggu dua kali suci, lalu kalau
ia akan menthalaqnya boleh ia lakukan atau kalau mau
menahannya (tidak menthalaqnya), ia boleh melakukannya, maka bisa dipahami bahwa
menunggu dua kali suci itu hanya keutamaan saja, bukan wajib. Dan bisa juga Nabi
SAW memberi waktu yang lebih longgar kepada Ibnu ‘Umar supaya berpikir : menthalaqnya ataukah
menahannya.
Thalaq
tiga dalam satu majlis
عَنْ مَحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ قَالَ: اُخْبِرَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنْ
رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثَ تَطْلِيْقاَتٍ جَمِيْعًا، فَقَامَ غَضْبَانَ،
ثُمَّ قَالَ: أَ يُلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَ اَنَا بَيْن اَظْهُرِكُمْ؟ حَتَّى
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلاَ اَقْتُلُهُ؟ النسائى و رواته موثقون
Dari
Mahmud bin Labid, ia berkata : Dikhabarkan kepada
Rasulullah SAW tentang seseorang yang menthalaq istrinya dengan thalaq tiga
sekaligus. Maka beliau bangkit dengan marah, kemudian bersabda, “Apakah Kitab
Allah hendak dipermainkan, sedang aku masih berada diantara kalian ?”. Sehingga ada seorang laki-laki yang bangkit lalu
berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku bunuh dia
?”.
[HR. Nasai, para perawinya orang kepercayaan]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: طَلَّقَ اَبُوْ رُكَانَةَ اُمَّ رُكَانَةَ،
فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: رَاجِعِ امْرَأَتَكَ، فَقَالَ: اِنّى طَلَّقْتُهَا
ثَلاَثًا. قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ، رَاجِعْهَا. ابو داود
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Abu Rukanah telah menthalaq Ummu Rukanah. Maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Rujukilah istrimu
!”. Maka Abu Rukanah berkata, “Sesungguhnya aku telah menthalaqnya dengan
thalaq tiga (sekaligus)”. Rasulullah SAW bersabda, “Aku sudah tahu, rujukilah
ia”.
[HR. Abu Dawud]
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ مِائَةً. قَالَ: عَصَيْتَ رَبَّكَ وَ فَارَقْتَ امْرَأَتَكَ لَمْ
تَتَّقِ اللهَ فَيَجْعَلْ لَكَ مَخْرَجًا. الدارقطنى
Dari
Mujahid dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya oleh
seorang laki-laki yang telah menthalaq istrinya thalaq seratus. Ia menjawab,
“Kamu durhaka kepada Tuhanmu dan kamu telah menthalaq istrimu. Kamu tidak
bertaqwa kepada Allah, karena itu Ia (tidak) memberikan suatu jalan keluar
bagimu”.
[HR. Daruquthni].
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ اَلْفًا، قَالَ: يَكْفِيْكَ مِنْ ذلِكَ ثَلاَثٌ وَ تَدَعُ
تِسْعَمِائَةٍ وَ سَبْعًا وَ تِسْعِيْنَ. الدارقطنى
Dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki telah
menthalaq istrinya thalaq seribu. Ibnu Abbas berkata, “Thalaq itu cukup bagimu
tiga kali dan buanglah yang sembilan ratus sembilan puluh tujuh”.
[HR. Daruquthni]
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنْ
رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ عَدَدَ النُّجُوْمِ، فَقَالَ: اَخْطَأَ السُّنَّةَ وَ
حَرُمَتْ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ. الدارقطنى
Dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ia
pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menthalaq istrinya sebanyak
bintang di langit, lalu ia berkata, “Dia menyalahi sunnah Nabi dan istrinya
haram baginya”.
[HR. Daruquthni].
وَ قَدْ رَوَى طَاوُسٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ الطَّلاَقُ
عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ اَبِى بَكْرٍ وَ سَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ
عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ: اِنَّ
النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوْا فِى اَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيْهِ اَنَاةٌ فَلَوْ
اَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ فَاَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ. احمد و مسلم
Dan
sungguh Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “Adalah thalaq di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan dua tahun dari
pemerintahan ‘Umar, thalaq tiga (yang dijatuhkan sekaligus) itu jatuh satu”.
Kemudian ‘Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya manusia benar-benar
tergesa-gesa dalam urusan yang seharusnya mereka tempuh dengan shabar. Maka
alangkah baiknya kalau kami laksanakan hal itu atas mereka
?”. Kemudian ‘Umar melaksanakannya atas mereka.
[HR. Ahmad dan Muslim].
وَ فِى رِوَايَةٍ عَنْ طَاوُسٍ اَنَّ اَبَا الصَّهْبَاءِ قَالَ ِلابْنِ
عَبَّاسٍ: هَاتِ مِنْ هَنَاتِكَ، اَلَمْ يَكُنْ طَلاَقُ الثَّلاَثِ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ ص وَ اَبِى بَكْرٍ وَاحِدَةً؟ فَقَالَ: قَدْ كَانَ ذلِكَ. فَلَمَّا
كَانَ فِى عَهْدِ عُمَرَ تَتَابَعَ النَّاسُ فِى الطَّلاَقِ، فَاَجَازَهُ
عَلَيْهِمْ. مسلم
Dan
dalam riwayat lain dari Thawus, bahwa sesungguhnya Abu Shahba’ pernah berkata
kepada Ibnu Abbas, “Berilah aku pengetahuan yang kau miliki, bukankah thalaq
tiga (yang dijatuhkan sekaligus) di masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar dianggap
jatuh satu ?”. Kemudian ia
menjawab, “Benar begitu, tetapi di masa ‘Umar, manusia berlebih-lebihan dalam
urusan thalaq, lalu ‘Umar menetapkan keadaan itu atas mereka”.
[HR. Muslim].
Keterangan
:
Pada
zaman Nabi SAW, zaman khilafah Abu Bakar dan dua tahun di masa khilafah Umar,
kalau orang menyebut, “Aku thalaq istriku thalaq tiga”, maka yang teranggap
jatuh thalaq itu hanya satu.
Tetapi setelah banyak orang bermain-main menyebut “thalaq tiga”, maka ‘Umar
memberitahukan bahwa siapa yang menthalaq istrinya dengan menyebut “thalaq
tiga”, akan dianggap thalaq tiga betul-betul dan tidak
boleh kembali kepada istrinya itu lagi sebelum ia kawin dengan laki-laki
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar